Marketing For Competitiveness 

Uncategorized
image_pdf

Marketing for Competitiveness (2017) mengungkap digitalisasi yang terjadi di Asia dan dampaknya terhadap para pelaku bisnis di dalamnya. Melalui buku ini, penulis menawarkan formula pemasaran yang disebut New Wave Marketing. Inilah strategi dan taktik baru untuk meraih hati pelanggan digital.

Siapa penulis buku ini?

Philip Kotler adalah Profesor di bidang International Marketing di Kellogg School of Management. Konsep dan pemikirannya telah dituliskan dalam text book pemasaran yang digunakan di kampus-kampus berbagai negara. Karena kontribusinya, ia mendapatkan gelar Father of Modern Marketing.

Hermawan Kartajaya adalah seorang praktisi pemasaran yang menjadi salah satu dari 50 gurus who have shaped the future of marketing menurut Chartered Institute of Marketing. Ia merupakan pendiri dan CEO MarkPlus, Inc. Beberapa buku lain yang telah ia tulis antara lain: Rethinking Marketing (2002), Repositioning Asia (2000), Attracting Investors (2004), Marketing in Venus (2004), Think ASEAN! (2007) dan Marketing 3.0 (2010).

Hooi Den Huan adalah Direktur dari Nanyang Technopreneurship Center, Nanyang Technological University, Singapura. Ia juga menjadi Associate Professor di Nanyang Business School, Singapura.

Untuk siapa buku ini?

  • Para pelaku bisnis yang ingin meningkatkan daya saing perusahaannya dengan memanfaatkan teknologi digital
  • Akademisi dan mahasiswa yang tertarik dengan dinamika pemasaran di era digital
  • Siapapun yang memiliki minat terhadap pemasaran
Strategi Marketing

A.Strategi dan Taktik Pemasaran Baru untuk Mengambil Hati Pelanggan Digital di Asia

Dampak digitalisasi terhadap bisnis memang sudah tidak bisa disangkal lagi baik di tingkat global, regional maupun nasional. Disrupsi akibat teknologi terjadi di berbagai sektor industri. Akibatnya, cara-cara pemasaran yang lama semakin tidak relevan.

Dalam pimtar ini, Anda akan memahami konsep New Wave Marketing sebagai bentuk ‘transformasi’ pemasaran di tengah arus digitalisasi. Berbagai kasus dari perusahaan-perusahaan ternama di Asia juga turut memperkaya bahasannya.

Hal menarik yang akan Anda pelajari antara lain:

  • bagaimana teknologi telah mengubah wajah kompetitor dan konsumen Anda;
  • apa yang dimaksud Marketing 1.0, Marketing 2.0 dan Marketing 3.0;
  • kenapa Komatsu bisa menjadi penguasa pasar Indonesia;
  • seperti apa keunikan yang bisa bertahan di era digital; dan
  • bagaimana cara Unilever di India melebarkan sayapnya ke pedesaan lewat komunitas.
disrupsi teknologi

Disrupsi yang dibawa oleh teknologi telah membuat ‘wajah’ kompetitor dan konsumen berubah.

Saat ini, disrupsi yang dibawa oleh teknologi telah menjadikan sekat-sekat antar industri menjadi tidak relevan lagi. Kompetisi bisa muncul dari industri atau sektor mana pun.

Sekarang hotel tidak lagi bersaing dengan sesama hotel, namun juga harus menghadapi ancaman dari perusahaan pengembang web dan aplikasi seperti Airbnb.

Airbnb adalah sebuah aplikasi digital bagi orang-orang untuk mendaftarkan, menemukan dan menyewa penginapan. Saat ini sudah ada lebih dari 1,500,000 daftar penginapan di Airbnb, di mana lokasinya tersebar di 34,000 kota dan 190 negara.

Perusahaan transportasi konvensional bahkan menghadapi ancaman yang lebih nyata. Kemunculan Uber dan beberapa transportasi online lainnya di Asia –seperti Grab di Malaysia, Didi Chuxing di China dan GoJek di Indonesia– memunculkan reaksi negatif dari para operator taksi konvensional.

Baca Juga :  The tipping point - Hal kecil membuat perbedaan besar

Bahkan, sektor yang tergolong sangat konservatif seperti perbankan pun tidak luput dari ‘goncangan’. Sekarang bank harus berhadapan dengan kompetitor-kompetitor baru dari operator telekomunikasi maupun perusahaan fintech.

Teknologi tidak hanya mengubah wajah kompetisi. Konsumen pun mengalami transformasi. Adanya teknologi digital telah memungkinkan mereka untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya sulit dilakukan atau membutuhkan banyak biaya.

Di era digital ini, setidaknya ada dua tahapan baru yang muncul dalam proses pengambilan keputusan konsumen. Kotler dkk menyebutnya tahapan mencari informasi (ask) dan memberi rekomendasi (advocate).

Ask adalah tahap mencari tambahan informasi yang dilakukan oleh konsumen sebelum akhirnya benar-benar melakukan pembelian. Untuk itu, sekarang konsumen tinggal melempar pertanyaan ke media sosial, grup instant messenger atau pun mesin pencari. Jika informasi dirasakan sudah cukup, barulah konsumen melakukan pembelian.

Tahapan baru kedua adalah advocate. Dahulu loyalitas terhadap merek dilihat dari seberapa banyak dan sering konsumen melakukan pembelian ulang. Semakin sering konsumen melakukan pembelian ulang, maka ia dinilai semakin loyal.

Di era digital, loyalitas tidak lagi bisa diukur dengan itu. Mereka yang loyal akan dengan suka rela mau merekomendasikan produk atau jasa Anda kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Itulah definisi baru loyalitas. Itulah advocacy.

“Bukan tugas konsumen untuk mengetahui apa yang mereka butuhkan. Itu adalah tugas kita” Steve Job

B. Ada tiga perspektif umum dalam pemasaran yang semuanya membutuhkan dukungan teknologi agar lebih optimal.

Pemasaran telah berevolusi dalam tiga era. Era pertama adalah Marketing 1.0 yang fokus pada pengembangan produk; era kedua adalah Marketing 2.0 yang fokus pada pelanggan dan selanjutnya adalah Marketing 3.0 yang memberikan fokus lebih luas, termasuk pada isu-isu sosial dan lingkungan.

Setiap perspektif sebenarnya masih tetap relevan diimplementasikan hingga sekarang, hanya saja semuanya membutuhkan dukungan teknologi agar bisa memberikan hasil yang lebih optimal.

Perspektif pertama yang fokus pada pengembangan produk (product-centric marketing) percaya bahwa dengan inovasi yang tepat perusahaan bisa menciptakan pasarnya sendiri. Terkait hal ini, Steve Jobs pernah berkata; “Bukan tugas konsumen untuk mengetahui apa yang mereka butuhkan. Itu adalah tugas kita”.

Untuk meraih kesuksesan di era digital, proses pengembangan produk baru tidak lagi bisa hanya mengandalkan ‘otak’ yang ada di dalam perusahaan.

Dengan perkembangan teknologi yang ada, perusahaan saat ini sudah bisa melibatkan pihak-pihak eksternal untuk turut memberikan sumbangan pikiran. Inilah yang disebut dengan ‘inovasi terbuka’.

Sedangkan perspektif kedua, Marketing 2.0, menganggap bahwa produk yang bagus tetap tidak akan sukses jika perusahaan tidak bisa menawarkannya dengan cara tepat kepada calon pelanggan.

Contohnya adalah kisah Komatsu—perusahaan Jepang yang memproduksi alat-alat berat—yang sukses menguasai pasar Indonesia lewat kemitraannya dengan Astra Internasional.

Mereka bisa mempertahankan loyalitas klien-kliennya lewat tim penjualan dan layanan yang memuaskan, bukan semata karena produk yang istimewa.

Baca Juga :  Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru

Di era digital, upaya untuk mendapatkan dan mempertahankan pelanggan—sebagai aktivitas inti dari Marketing 2.0—telah bisa memanfaatkan teknologi digital. Contohnya adalah pemanfaatan komunitas online untuk menjalin hubungan dengan klien, sebagaimana yang dilakukan perusahaan software SAP.

Perspektif yang ketiga, Marketing 3.0, berusaha untuk menggabungkan kepentingan bisnis dan sosial/lingkungan. Contohnya adalah PT Pembangunan Perumahan, BUMN konstruksi dari Indonesia, yang mengusung konsep gedung ramah lingkungan.

Konsep ini secara bisnis bisa menguntungkan, dari sisi lingkungan juga bisa memberikan dampak positif.

Perspektif ketiga ini juga bisa memanfaatkan perkembangan teknologi. Contohnya adalah strategi ITC asal India yang mendirikan kios-kios berteknologi internet bagi para petani di desa.

Dengan kios-kios tersebut, para petani bisa mendapatkan informasi yang transparan soal harga produk pertanian, sehingga mereka tidak lagi bisa ditipu para tengkulak. Sedangkan ITC juga diuntungkan karena bisa mendapatkan suplai bahan baku yang lebih kontinyu.

eradigital

C. eragital telah melahirkan tiga inti baru pemasaran

Penulis percaya bahwa inti pemasaran sesungguhnya ada tiga, yaitu positioning, diferensiasi dan brand (merek).

Positioning adalah citra atau persepsi tertentu yang ingin ‘ditempelkan’ perusahaan ke otak pelanggan. Agar kuat, sebuah positioning harus memiliki keunikan atau diferensiasi yang kuat pula. Keduanya nanti akan divisualkan lewat nama dan logo tertentu yang disebut dengan brand.

Di era digital, ketiganya telah mengalami perubahan. Positioning berubah menjadi clarification, diferensiasi menjadi codification dan brand menjadi character.

Dalam positioning, perusahaan biasanya menggunakan pesan tunggal yang akan diulang-ulang melalui berbagai media. Sedangkan ‘clarification’ menggunakan ‘tema utama’ yang bisa diterjemahkan melalui beragam pesan.

Contohnya adalah McDonald yang selama 10 tahun lebih menggunakan tema “I’m Lovin’ it”. Tema utama ini bisa diterjemahkan ke 100 negara dengan lebih dari 20 bahasa yang berbeda. Sebagai contoh, di Azerbaijan, slogan yang dipakai adalah “See, this is love”. Pesan yang berbeda namun tema intinya sama: cinta.

Sedangkan diferensiasi harus benar-benar menjadi sebuah keunikan yang dijiwai oleh seluruh personil perusahaan, bukan hanya orang pemasaran. Untuk itu, perusahaan harus melakukan internalisasi agar keunikan yang dimiliki produk atau layanan bisa menyatu dalam budaya perusahaan.

Keunikan yang telah menjadi semacam DNA perusahaan inilah yang disebut ‘codification’.

Lalu bagaimana trasnsformasi konsep ‘brand’?

Di era digital, brand harus bisa tampil layaknya manusia yang memiliki kepribadian. Untuk itu Kotler dkk menggunakan istilah ‘character’.

Sebagai ‘character’, sebuah merek tidak lagi bisa hanya memperhatikan desain dan slogan, tetapi juga harus memperhatikan 6 aspek penting berikut ini; aspek fisik (penampilan), aspek intelektual (kreatifitas), aspek emosional, aspek sosial, aspek personal dan moral.

D.   Anda membutuhkan strategi pemasaran yang lebih horizontal dan ‘sosial’.

Menurut Kotler dkk., strategi pemasaran antara lain mencakup ‘segmentation’ dan ‘targeting’. Segmentasi adalah cara Anda mengelompokkan pasar berdasarkan kriteria tertentu, sedangkan targeting adalah proses untuk menentukan pasar yang dibidik.

Baca Juga :  Review Buku "The Manager"

Dengan adanya perkembangan teknologi, pelanggan menjadi semakin komunal. Berbagai macam komunitas—baik online maupun offline—dengan mudah bisa Anda temukan. Untuk itu Anda tidak lagi bisa melihat mereka secara individual.

Dampaknya bagi strategi pemasaran adalah perlunya cara pandang baru. Anda harus melihat segmen/kelompok pelanggan bukan lagi sekedar kumpulan individu, namun sebuah komunitas yang memiliki tujuan, nilai-nilai dan identitas tertentu. Inilah yang disebut ‘communitization’.

Di sisi lain, perkembangan teknologi juga telah membuat posisi perusahaan dan pelanggan menjadi semakin sejajar.

Konsekuensinya, pelanggan tidak lagi bisa diperlakukan sebagai target pasar yang pasif, namun harus diajak berkolaborasi sebagai ‘anggota komunitas’ yang aktif.

Agar bisa diterima oleh sebuah komunitas pelanggan, perusahaan harus bisa menyesuaikan antara tujuan, nilai-nilai dan identitas perusahaan dengan tujuan, nilai-nilai dan identitas komunitas tersebut.

Contoh kasus sukses ‘communitization’ dan ‘confirmation’ adalah Project Shakti di India yang digagas oleh Hindustan Unilever. Ini adalah kolaborasi antara Hindustan Unilever (HUL) dengan komunitas ibu-ibu rumah tangga di pedesaan India.

Dalam upaya untuk melebarkan bisnisnya hingga ke desa-desa, HUL merangkul komunitas ibu-ibu tersebut untuk turut menjual produknya ke lingkungan sekitar mereka. Dengan adanya inisiatif tersebut, HUL dapat meraih peningkatan penjualan sedangkan komunitas ibu-ibu tersebut mendapatkan peningkatan penghasilan.

Taktik pemasaran yang Anda gunakan juga harus mengikuti perkembangan teknologi digital

Di level taktik, perubahan paradigma juga diperlukan.

Selama ini para pemasar sudah familiar dengan istilah bauran pemasaran yang terdiri dari produk (product), harga (price), distribusi (place) dan promosi (promotion). biasa dikenal dengan 4P.

Di era digital ini, 4P telah berubah menjadi 4C. Produk telah menjadi ‘co-creation’, harga menjadi ‘currency’, distribusi menjadi ‘communal activation’ dan promosi menjadi ‘conversation’.

Dalam pengembangan produk baru, Anda sekarang bisa melibatkan pelanggan dengan perantara teknologi. Contohnya adalah upaya pemerintah Singapura untuk meningkatkan pembangunannya dengan mengundang partisipasi masyarakat lewat program eGov. Inilah yang disebut ‘co-creation’.

Sedangkan ‘currency’ berarti adanya fleksibilitas bagi pelanggan untuk menyesuaikan harga sesuai dengan kebutuhannya. Biasanya perusahaan akan menyediakan produk dasar, di mana pelanggan bisa menambahkan fitur sesuai dengan kebutuhan.

Distribusi produk saat ini juga harus memanfaatkan kekuatan komunitas pelanggan. Dengan menggunakan komunitas, Anda akan memiliki akses yang lebih personal dan terpercaya ke pelanggan. Inilah yang dimaksud dengan ‘communal activation’.

Terakhir, promosi yang cenderung vertikal dan searah, kini mulai bergeser ke ‘conversation’. Conversation adalah komunikasi dua arah yang terjadi di antara pelanggan-pelanggan Anda, di mana ada nama produk atau merek Anda di dalamnya.

Untuk bisa melakukan conversation, perusahaan harus bisa menciptakan isu atau topik yang akan mendorong pelanggan untuk membicarakannya, baik secara online maupun offline. Dalam istilah sekarang, ini yang disebut dengan topik viral.
Terimakasih sudah membaca artikel kami, untuk artikel lainya bisa klik disini